Rabu, 17 Juli 2013

Tidurnya Orang yang Berpuasa adalah Ibadah




Apakah benar tidur orang yang berpuasa itu berpahala? Apakah benar seperti itu? 

Di bulan Ramadhan saat ini, kita sering mendengar ada sebagian da’i yang menyampaikan bahwa tidur orang yang berpuasa adalah ibadah. Bahkan dikatakan ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dengan penyampaian semacam ini, orang-orang pun akhirnya bermalas-malasan di bulan Ramadhan bahkan mereka lebih senang tidur daripada melakukan amalan karena termotivasi dengan hadits tersebut. Dalam tulisan yang singkat, kami akan mendudukkan permasalahan ini karena ada yang salah kaprah dengan maksud yang disampaikan dalam hadits tadi. Semoga Allah memudahkan dan menolong urusan setiap hamba-Nya dalam kebaikan.
Derajat Hadits Sebenarnya
Hadits yang dimaksudkan,
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya adalah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.
Perowi hadits ini adalah ‘Abdullah bin Aufi. Hadits ini dibawakan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 3/1437. Dalam hadits ini terdapat Ma’ruf bin Hasan dan dia adalah perowi yang dho’if (lemah). Juga dalam hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amr yang lebih dho’if dari Ma’ruf bin Hasan.
Dalam riwayat lain, perowinya adalah ‘Abdullah bin ‘Amr. Haditsnya dibawakan oleh Al ‘Iroqi dalam Takhrijul Ihya’ (1/310) dengan sanad hadits yang dho’if (lemah).
Kesimpulan: Hadits ini adalah hadits yang dho’if. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 4696 mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).
Tidur yang Bernilai Ibadah yang Sebenarnya
Setelah kita menyaksikan bahwa hadits yang mengatakan “tidur orang yang berpuasa adalah ibadah” termasuk hadits yang dho’if (lemah), sebenarnya maknanya bisa kita bawa ke makna yang benar.
Sebagaimana para ulama biasa menjelaskan suatu kaedah bahwa setiap amalan yang statusnya mubah (seperti makan, tidur dan berhubungan suami istri) bisa mendapatkan pahala dan bernilai ibadah apabila diniatkan untuk melakukan ibadah. Sebagaimana An Nawawi dalam Syarh Muslim (6/16) mengatakan,
أَنَّ الْمُبَاح إِذَا قَصَدَ بِهِ وَجْه اللَّه تَعَالَى صَارَ طَاعَة ، وَيُثَاب عَلَيْهِ
“Sesungguhnya perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk mengharapkan wajah Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu ketaatan dan akan mendapatkan balasan (ganjaran).”
Jadi tidur yang bernilai ibadah jika tidurnya adalah demikian.
Ibnu Rajab pun menerangkan hal yang sama, “Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan badan agar kuat ketika melaksanakan shalat dan berpuasa, maka seperti inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya di malam dan siang harinya agar kuat dalam beramal, maka tidur seperti ini bernilai ibadah.” (Latho-if Al Ma’arif, 279-280)
Intinya, semuanya adalah tergantung niat. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, maka tidur seperti ini adalah tidur yang sia-sia. Namun jika tidurnya adalah tidur dengan niat agar kuat dalam melakukan shalat malam dan kuat melakukan amalan lainnya, tidur seperti inilah yang bernilai ibadah.
Jadi ingatlah “innamal a’malu bin niyaat”, setiap amalan tergantung dari niatnya.
Semoga Allah menganugerahi setiap langkah kita di bulan Ramadhan penuh keberkahan. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmatnya, segala kebaikan menjadi sempurna. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam, wal hamdu lillahi robbil ‘alamin.
Rujukan:
1. As Silsilah Adh Dho’ifah, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif Riyadh, Asy Syamilah
2. Latho-if Al Ma’arif fil Mawaasim Al ‘Aam minal Wazho-if, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islamiy
3. Syarh Muslim, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
4. http://www.dorar.net/enc/hadith/نوم الصائم /pt
***

Diselesaikan pada waktu ifthor, 2 Ramadhan 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Rabu, 03 Juli 2013

DZIKIR

Dzikir


Al Quran mengajarkan bahwa kesuksesan dan kebahagiaan yang diperoleh oleh seseorang akan dapat dilestarikan apabila yang bersangkutan pandai mensyukurinya, dan sebaliknya kesuksesan dan kebahagiaan itu akan segera berakir, berubah menjadi siksaan dan penderitaan apabila yang bersangkutan tidak pandai menyukurinya.
 La-in syakartum la-azidannakum wa la-in kafartum inna ‘adzabi lasyadid,
Kalau kalian syukur , aku akan tambahkan ni’mat kepadamu, dan kalau kamu kufur, maka sesungguhnya azabku maha pedih”.( QS Ibrahim , 14:7).
Demikian juga kepahitan dan kesulitan hidup, tidak akan membuahkan penderitaan apabila yang bersangkutan sabar dan tabah menghadapinya.
Dan sesunguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan cobaan berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Maka sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS al-Baqarah, 2:155)
Tapi manusia memang manusia, mereka memiliki sejumlah kelebihan dan sekaligus segudang kelemahan, manusia memiliki potensi untuk gelisah dan resah, tidak mampu bersabar, dan tidak pandai bersyukur, kecuali mereka yang memiliki iman yang mantap dan melaksanakan amal shaleh yang  ikhlas, mereka yang senantiasa dzikir kepada Allah SWT.
Manusia itu tiada jemu-jemunya berdo’a supaya memperoleh kebaikan, tetapi apabila bahaya menimpanya, ia sering berputus asa dan hilang harapan. (QS Hamim as-Sajdah, 41:49)
Manusia diciptakan dengan membawa sifat tergesa-gesa. (QS al-Isra, 17:11 dan QS al-Anbiya, 21:77)
Buku  DZIKIR  yang ditulis oleh bapak kita DR.Miftah Faridl, sebuah buku kecil, bisa di bawa kemanapun kita pergi, bisa dibaca disetiap waktu, isinya sangat bermanfaat untuk menambah wawasan ilmu kita. Adapun isi dari buku ini diantaranya adalah :
1.       Petunjuk Islam untuk Mengatasi Kegelisahan
a.       Tips menghadapi realitas kehidupan
b.      Tips untuk mengatasi kepahitan dan kekecewaan
c.       Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan untuk memperoleh hati yang tenang
 2.       Dzikir
a.       Pengertian dzikir
b.      Urgensi dan hikmah dzikir
c.       Hikmah dan manfaat dzikir
d.      Petunjuk pelaksanaan dzikir
e.      Macam-macam dzikir

3.       Akhlak dan amalan utama untuk memperoleh ketenangan dan ketegaran
a.       Sabar dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan
b.      Ikhlas dalam melaksanakan amal kebajikan
c.       Syukur bila mendapat nikmat
d.      Taubat tatkala terlanjur melakukan kesalahan/dosa
e.      Menyadari akan adanya ujian kehidupan
f.        Melakukan shalat dan bermunajat di penghujung malam
g.       Memakurkan mesjid
Apabila di uraikan secara mendetail, ini akan memerlukan waktu berhari-hari ngetiknya, maka saya anjurkan agar membaca bukunya saja, gak tebal kok buku pocket hanya 215 halaman, penerbit PUSTAKA BANDUNG
Semoga bermanfaat sebagai obat hati……

SABAR DAN SYUKUR

Sabar dan Syukur

 Sabar dan syukur kedua-duanya adalah kumparan untuk menangkap ayat-ayat Allah. Sabar adalah kumparan untuk menangkap ayat Allah yang namanya musibah. Syukur adalah kumparan untuk menangkap ayat Allah yang namanya nikmat.

Sabar dan syukur adalah cermin dari keimanan dan kepasrahan manusia kepada Allah. Jika Allah memberinya ujian, ia akan bersabar, terus mengingat dan menyerahkan urusannya kepada Allah sebagaimana dinyatakan Alquran (QS al-Baqarah/2: 165): “wa idza ashabathum mushibatun qolu inna lillahi wa inna ilaihi ra’ji’un” (jika mereka ditimpa musibah, mereka berkata sesungguhnya kami ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya). Dan jika diberi nikmat, dia akan bersyukur dan berdoa sebagaimana dinyatakan Alquran (al-An’am/6: 19): “Rabbi awzi’ni an asykura ni’matakallaty an’amta alayya wa ala walidaty” (Ya Tuhanku, anugerahilah aku kemampuan untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku).

Kebanyakan manusia tidak bersyukur ketika diberi nikmat dan mengeluh ketika ditimpa musibah. Ketika jaya, ia menyangka bahwa itu semata adalah hasil dari kerja kerasnya. Ia kemudian meninggalkan Allah dan membanggakan kemampuan dirinya. Ketika ditimpa mushibah, ia menyalahkan orang lain dan mengutuk Allah.

Bersyukur harus dimulai dari nikmat-nikmat terkecil dan sedikit, karena Rasul mengatakan: “Man lam yaskuril qalil lam yasykuril katsir” (Siapa yang tidak bisa mensyukuri nikmat yang sedikit, dia tidak akan mensyukuri yang banyak). Allah berjanji siapa yang mensykuri nikmat-Nya, pasti Allah akan menambahnya lebih banyak lagi. La in syakartum la azidannakum wa la in kafartum inna adzabi la syadid (QS Ibrahim/14: 7)

Marilah kita belajar bersyukur dan bersabar.

DAKWAH ADALAH TUGAS SEMUA MUSLIM BUKAN TUGAS ULAMA SAJA

Dakwah adalah tugas semua muslim bukan tugas ulama saja




                   Tanggung Jawab Dakwah Ummat Muhammad SAW

Dakwah pada diri sendiri dan keluarga
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS Attahrim ayat 6)
Dakwah kepada tetangga, sahabat dan orang-orang dekat/kerabat
Dan ini (Al Quraan) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quraan) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya. (QS Al an’am 92).
Dakwah kepada Ummat diseluruh dunia
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk seluruh manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali imran 110).
Dakwah adalah maksud diciptakannya (tugas) ummat Muhammad SAW
Maksud diciptakannya manusia adalah untuk ibadah
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs adzariyat 56).
Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS An Nur 41)
Maksud diciptakannya manusia adalah sebagai khalifatullah (wakil-wakil Allah dimuka bumi)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs albaqarah ayat 30)
Maksud diciptakannya Ummat Muhammad adalah untuk dakwah
Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS Yusuf 108)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk seluruh manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali imran 110). 
Hasan Basri Rah. mengatakan : “Barang siapa yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran maka dialah khalifatullah, dan dialah khalifaturrasul dan dialah khalifatul kitab (al-qur’an)” . (Bahkan perkataan ini terdapat pada kitab amr bil ma’ruf nahi ‘anil munkar – Ibnu taymiyah).
Dua Amalan Orang Mukmin yang Allah SWT juga mengamalkannya
- Allah SWT Berdakwah
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam) (QS Yunus 25].
...
- Allah SWT bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (Surat Al-ahzab 56)
- Dakwah (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) adalah tugas semua muslim bukan tugas ulama saja (Tugas ulama adalah mengajar dan menunjukan jalan yang lurus (fatwa-fatwa) dsb.)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-nahl 125). 
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (Adz-adzaariyat 55) 
Hai orang yang berkemul (berselimut) (2) ,bangunlah, lalu berilah peringatan! (3) dan Tuhanmu agungkanlah! [74:1-3]
Hadits Nabi
- Dari Anas ra. beliau meriwayatkan bahwa kami berkata : “Wahai Rasulullah, adakah betul kami tidak berhak (patut) mengajak kepada kebaikan sehingga kami mengamalkan semua kebaikan dan kami tidak berhak (patut) mencegah kemungkaran sebelum kami meninggalkan semua kemungkaran? Maka Baginda SAW menjawab : “Tidak bahkan serulah kepada kebaikan walaupun kalian belum mengamalkan semua kebaikan dan cegahlah kemungkaran walaupun kalian belum meninggalkan semuanya dengannya (HR Imam athabrani dalam al ausath dan jami’ushaghir) 
- Dari abi sa’id al khudry Ra. berkata saya mendengar Rasulullah saw. bersabda : Barangsiapa melihat kemungkaran dihadapannya maka rubahlah dengan tangannya. Sekiranya tidak mampu maka rubahlah dengan lidahnya. dan sekiranya tidak mampu maka rubahlah dengan hatinya dan yang sedemikian itu selemah-lemahnya iman (HR Imam Muslim). 
Bagaimana Jika dakwah ditinggalkan
1. Diharamkan keberkahan wahyu (Tidak bisa memahami al-qur’an dan hadits)
- Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra. beliau berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda : “Apabila ummatku mengagungkan dunia maka akan dicabut d...arinya kehebatan islam, apabila mereka meninggalkan amr bil ma’ruf (mengajak kepada kebaikan) dan nahi ‘anil munkar (mencegah kemungkaran maka diharamkan atasnya keberkahan wahyu dan apabila mereka saling caci mencaci maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah swt. (HR Hakim dan Tirmidzi – Dari kitab Durrul mantsur).
2. Diadzab sebagaimana diadzabnya Bani israil
Dari Urs bin ‘amirah ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab masyarakat banyak disebabkan kejahatan segelintir orang, sehingga segelintir orang itu melakukan suatu kejahatan yang sebenarnya mampu dicegah oleh masyarakat banyak, tetapi mereka tidak berusaha mencegahnya. Ketika terjadi demikian, maka Allah akan membinasakan semuanya, masyarakat banyak dan segelintir orang tersebut” (HR Imam thabrani dan sanad-sanagnya tisqat/terpercaya – majmauz zawaa’id VII/528).
Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. [5:78]
3. Doa tidak dikabulkan
Dari Hudzaifah bin al yaman ra. dari Nabi saw., beliau bersabda : ” Demi dzat yang nyawaku dalam kekuasaannya! kalian harus menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran ! atau (jika tidak), Allah akan mengirimkan pada kalian adzab dari-Nya, kemudian kalian berdoa (meminta tolong kepada-Nya), tetapi Dia tidak menerima doa kalian (HR Tirmidzi, katanya hadits ini hasan. Bab tentang amr ma’ruf nahi munkar, hadits nomor 2169).
4. Dibangkitkan pemimpin yang dhalim
Hadzat abu darda ra. salah seorang shahabat yang masyhur berkata : “Tetaplah kamu menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kalau tidak Allah Swt akan membangkitkan pemimpin (raja) yang dhalim yang memerintah kamu. Dia (aja dhalim) tidak akan menghormati orang tua kamu dan tidak akan menaruh belas kasihan kepada yang muda-muda dikalangan kamu. Pada masa itu, doa orang-orang shalih tidak akan diterima, Kamu inginkan bantuan tapi bantuan tidak akan diberikan, kamu mohon keampunan tetapi Allah swt tetapi kamu tidak akan diampuni”.

Selasa, 14 Mei 2013

HUKUM GALAU DALAM ISLAM

Hukum Galau Dalam Islam

Bismillahirrahmanirrahim.

Bimbang atau yang sekarang ngetrend Galau merupakan suatu keadaan dimana jiwa dan raga tidak saling mengisi tetapi pikiran fokus pada satu tujuan yaitu pilihan.

Penyebab dari galau itu sendiri adalah diri sendiri yang terlalu fokus pada satu hal kecil tanpa memperdulikan hal yang sangat besar yang notabene wajib dan nomor satu.

Lantas apa hukumnya galau bagi seorang muslim?

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang beriman." (QS. Ali Imran [3] : 139)

Lihat susunan dari ayat ini;

Lemah - Bersedih hati - Beriman.

Jika seseorang mengalami suatu keadaan lemah dan bersedih hati (galau) bukan berarti ia tidak beriman, tetapi imannya sedang turun.
dan jika seseorang itu Beriman, Imannya sudah tidak diragukan lagi, dia tidak akan mengalami suatu keadaan yang lemah, bersedih hati atau galau.

Kenapa begitu?

Tak bisa kita pungkiri, hal yang membuat kita galau pada dasarnya adalah hati kita yang gelap, terlalu mencintai dunia atau sesuatu yang abstrak.

Jika hati kita bersih, pikiran selalu berdzikir, selalu yakin kepada qada dan qadar Allah, kita tidak akan mengalami suatu keadaan galau.

Haram?
kalau begitu hukum galau bagi seorang Muslim itu Haram dong?

Kembali ke aqidah masing-masing,
saya tidak bisa menyimpulkan Haram atau Halal.

Saya yakin Anda bisa menyimpulkan hukum galau dari ayat yang saya paparkan di atas.

Semoga bermanfaat.

Wallahua'lam.

Kamis, 09 Mei 2013

DOSA STATUS FACEBOOK

*** Dosa Status Facebook ***

Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali –rahimahullah- mengatakan dalam kitabnya yang bertajuk Bidayah Al-Hidayah (hlm. 137-138 beserta syarhnya Maraqi Al-‘Ubudiyyah karya Abu ‘Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi)
و أما اليدان فاحفظهما عن أن... تكتب بهما ما لا يجوز النطق به، فإن القلم أحد اللسانين، فاحفظ القلم عما يجب حفظ اللسان عنه

“Adapun kedua tangan, maka jagalah dari menulis sesuatu yang tidak boleh diucapkan. Karena sejatinya pena merupakan salah satu dari dua lisan. Maka jagalah pena dari hal-hal yang harus dijaga oleh lisan.”

Dzun Nun Al-Mishri bersyair:
Tidak ada seorang penulis pun kecuali akan diuji
Apa yang ditulis kedua tangannya akan terus ada sepanjang masa
Maka, janganlah kau tulis dengan telapakmu,
kecuali sesuatu yang akan membuatmu senang kau lihat di hari Kiamat.”

Penulis Mirqah Ash-Shu’ud At-Tashdiq syarh Sulam At-Taufiq ila Mahabbatillah ‘ala At-Tahqiq (hlm. 132) menjelaskan, “Karena sesungguhnya pena meruapakan salah satu dari dua lisan. Karena sejatinya tulisan merupakan ungkapan lisan, sebagaimana kata ‘Ali Al-Nabtiti. Oleh sebab itu, Al-Ghazali berkata dalam Al-Bidayah, ‘Maka jagalah penamu dari hal-hal yang wajib dijaga oleh lisan.’”

Jadi, hati-hati dalam menulis! Tulislah hal-hal yang baik agar kelak Anda melihatnya dengan kegembiraan. Lain halnya jika Anda asal tulis seperti keluh kesah, caci maki, ghibah, namimah, dan semacamnya. Maka Anda akan menyesal dengan penyesalan yang besar!!!

Mudah-mudahan Allah melindungi kita dari seluruh keburukan...

Sumber: Renungan Al-Qur'an

NGERUMPI (HATI-HATI DOSANYA)

NGERUMPI (HATI-HATI DOSANYA)
--wanita wajib baca--
--laki-laki wajib mengingatkan--

Pembicaraan yang bathil (paling jelek) adalah pembicaraan maksiat, pembicaraan yang durhaka kepada Allah Ta'ala. Seperti menceritakan tentang perempuan, perkumpulan selebriti, dan sebagainya. Perkembangan di industri pertelevisian hari ini semakin menyadarkan kita bahwa ngerumpi telah menjadi gaya hidup dan kebiasaan masyarakat kita. Apabila sesuatu yang haram telah menjadi kebiasaan dan pelakunya merasa itu tidak haram, sungguh inilah kekejian yang besar.

Ngerumpi adalah pebuatan haram, yang akan membuat pelakunya tercela di sisi Allah. Ngerumpi tidak sekadar omong-omong, tetapi sering mengarah pada membicarakan orang lain. Anehnya, ada sebagian yang justru senang karena menjadi bahan pembicaraan orang lain, seakan dirinya telah menjadi isu publik dan perhatian.

Sudah maklum bahwa yang banyak melakukan perbuatan tercela ini adalah wanita. Mereka melakukannya di dapur, di arisan, dan juga forum-forum tidak formal, misalnya sambil nongkrong mencari kutu rambut. Wanita punya kebiasaan buruk ini. Bahkan, boleh jadi ngerumpi ini identik dengan wanita.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda terkait dengan kebiasaan kaum wanita yang gemar ngerumpi:

"Sesungguhnya, ada seseorang yang berbicara dengan ucapan yang Allah murkai, ia tidak menduga akibatnya, lalu Allah catat itu dalam murka Allah hingga hari Kiamat" (HR Ibnu Majah)

Disamping berdosa, ngerumpi juga tidak meningkatkan produktivitas kerja. Orang yang mengisi waktu luangnya dengan ngerumpi, berarti ia telah mengisi hidupnya dengan sesuatu yang tidak berguna. Wanita yang memiliki kebiasaan ini, pasti tidak bisa menghasilkan hasil kreativitas kepada publik. Ia hanya mengisi waktu luangnya dengan mengobrol sehingga tak ada perubahan hidup ke arah yang lebih baik.


sumber : www.facebook.com/pages/Cinta-dan-Persahabatan-dalam-Islam/115339901946?fref=ts

Sabtu, 27 April 2013

KEBIASAAN TIDUR PAGI TERNYATA BERBAHAYA

Kebiasaan Tidur Pagi Ternyata Berbahaya

Kita tahu bahwa pagi hari adalah waktu yang penuh berkah dan karenanya kita harus memanfaatkannya. Pada kenyataannya, masih banyak orang yang melalaikan waktu yang mulia ini. Waktu yang seharusnya digunakan untuk bekerja, melakukan ketaatan dan beribadah, ternyata dialihkan untuk tidur dan bermalas-malasan.

Perlu diketahui, orang-orang saleh pada masa-masa dahulu sangat membenci tidur pagi. Ibnu Qayyim mengatakan, banyak tidur dapat mematikan hati dan membuat badan merasa malas dan membuang-buang waktu.

Sebaliknya, waktu tidur yang paling bermanfaat adalah saat kita sangat membutuhkannya, di awal malam daripada di akhir malam, dan di pertengahan siang daripada di waktu pagi dan sore. Terlebih di waktu pagi dan sore. Sangat sedikit manfaatnya, bahkan lebih banyak bahaya yang ditimbulkan, terutama tidur di waktu ashar dan awal pagi. Kecuali jika memang tidak tidur sepanjang malam sebelumnya.

Menurut para salaf, tidur yang terlarang adalah tidur ketika selesai shalat shubuh hingga matahari terbit. Ini karena pada waktu tersebut adalah saat untuk menuai ghanimah atau pahala yang berlimpah. Mengisi waktu tersebut mempunyai keutamaan yang sangat besar.

Lalu, seperti apakah ‘bahaya’ tidur di waktu pagi? Ini dia jawabannya: tidak termasuk akhlak dan kebiasaan para salafushshalih (generasi terbaik umat). Bahkan, merupakan perbuatan yang dibenci. Lalu, tidak mendapatkan barokah di dalam waktu dan amalannya, menyebabkan malas dan tiak bersemangat di sisa hari. Pagi hari bagi seseorang ibaratnya waktu muda, dan akhir harinya ibarat waktu tuanya. Amalan seseorang di masa muda berpengaruh terhadap amalannya di masa tua. Jadi, jika seseorang di awal pagi sudah bermalas-malasan dengan sering tidur, maka di sore harinya dia akan bermalas-malasan pula.

Tak ketinggalan, ‘bahaya’ tidur di waktu pagi adalah terhambatnya rizki datang. Menurut Ibnu Qayyim, empat hal yang menghambat datangnya rizki adalah berkhianat, malas shalat, bermalas-malasan, dan tidur di waktu pagi.

Bahkan, tidur pagi dapat menyebabkan berbagai penyakit badan, di antaranya adalah melemahkan syahwat. Mau dibuktikan? Sebaiknya tidak ya :)

Demikian sedikit sharing yang saya peroleh dari beberapa sumber. Semoga bisa sedikit memberikan manfaat...

Kamis, 25 April 2013

SUDAH SALAH MALAH TAKABUR

SUDAH SALAH MALAH TAKABBUR

Sudah salah, tetapi tidak mau mengakui kesalahan, tidak mau bertobat, bahkan sudah salah, malah menyombongkan diri, malah takabbur! dan tidak sedikit, terkadang MENANTANG NERAKA DAN SIKSANYA ALLAH TAALA!!
Inilah salah satu sifat munafik, coba perhatikan ayat Al Quran yang mulia ini:
وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ الله أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ
"Dan apabila dikatakan kepadanya:"Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa.
Saudaraku seiman...jauhi sifat ini, karena yang mempunyai sifat ini diancam dengan NERAKA JAHANNAM!
فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
"Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahanam. Dan sungguh neraka Jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya." wallahu a'lam.

Ya Allah ampunilah segala dosa dan kesalahan kami.
Aamiin...

Senin, 22 April 2013

YAKINLAH, ADA HIKMAH DI BALIK COBAAN


10 Kiat Tegar Menghadapi Cobaan

 


cobaan musibahMengarungi kehidupan pasti seseorang akan mengalami pasang surut. Kadang seseorang mendapatkan nikmat dan kadang pula mendapatkan musibah atau cobaan. Semuanya datang silih berganti. Kewajiban kita adalah bersabar ketika mendapati musibah dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat Allah. Berikut adalah beberapa kiat yang bisa memudahkan seseorang dalam menghadapi setiap ujian dan cobaan.



Pertama: Mengimani takdir ilahi
Setiap menghadapi cobaan hendaklah seseorang tahu bahwa setiap yang Allah takdirkan sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi pastilah terjadi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”[1]
Beriman kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang semakin ridho dengan setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.” [2]
 
Kedua: Yakinlah, ada hikmah di balik cobaan
Hendaklah setiap mukmin mengimani bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti ada hikmah di balik itu semua, baik hikmah tersebut kita ketahui atau tidak kita ketahui.[3] Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ (115) فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ (116)

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) 'Arsy yang mulia.” (QS. Al Mu’minun: 115-116)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ (38) مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq.” (QS. Ad Dukhan: 38-39)

Ketiga: Ingatlah bahwa musibah yang kita hadapi belum seberapa
Ingatlah bahwa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendapatkan cobaan sampai dicaci, dicemooh dan disiksa oleh orang-orang musyrik dengan berbagai cara. Kalau kita mengingat musibah yang menimpa beliau, maka tentu kita akan merasa ringan menghadapi musibah kita sendiri karena musibah kita dibanding beliau tidaklah seberapa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لِيَعْزِ المسْلِمِيْنَ فِي مَصَائِبِهِمْ المصِيْبَةُ بي

“Musibah yang menimpaku sungguh akan menghibur kaum muslimin.”[4]

Dalam lafazh yang lain disebutkan,

مَنْ عَظَمَتْ مُصِيْبَتُهُ فَلْيَذْكُرْ مُصِيْبَتِي، فَإِنَّهَا سَتَهَوَّنُ عَلَيْهِ مُصِيْبَتُهُ

“Siapa saja yang terasa berat ketika menghapi musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku. Ia tentu akan merasa ringan menghadapi musibah tersebut.”[5]



Keempat: Ketahuilah bahwa semakin kuat iman, memang akan semakin diuji

 Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.”[6]

Kelima: Yakinlah, di balik kesulitan ada kemudahan

 Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5)

Ayat ini pun diulang setelah itu,

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6). Qotadah mengatakan, “Diceritakan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi kabar gembira pada para sahabatnya dengan ayat di atas, lalu beliau mengatakan,

لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ

“Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.”[7]

Keenam: Hadapilah cobaan dengan bersabar
'Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

الصَّبْرُ مِنَ الإِيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الجَسَدِ، وَلَا إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَبْرَ لَهُ.

“Sabar dan iman adalah bagaikan kepala pada jasad manusia. Oleh karenanya, tidak beriman (dengan iman yang sempurna), jika seseorang tidak memiliki kesabaran.”[8]

Yang dimaksud dengan bersabar adalah menahan hati dan lisan dari berkeluh kesah serta menahan anggota badan dari perilaku emosional seperti menampar pipi dan merobek baju.[9]

Ketujuh: Bersabarlah di awal musibah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى

“Yang namanya sabar seharusnya dimulai ketika awal ditimpa musibah.”[10] Itulah sabar yang sebenarnya. Sabar yang sebenarnya bukanlah ketika telah mengeluh lebih dulu di awal musibah.

Kedelapan: Yakinlah bahwa pahala sabar begitu besar
Ingatlah janji Allah,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan, “Pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa ditakar dan ditimbang. Mereka benar-benar akan mendapatkan ketinggian derajat.” As Sudi mengatakan, “Balasan orang yang bersabar adalah surga.”[11]

Kesembilan: Ucapkanlah “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'un ...”
Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam- berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ». قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'un. Allahumma'jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do'a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.”[12]

Do'a yang disebutkan dalam hadits ini semestinya diucapkan oleh seorang muslim ketika ia ditimpa musibah dan sudah seharusnya ia pahami. Insya Allah, dengan ini ia akan mendapatkan ganti yang lebih baik.

Kesepuluh: Introspeksi diri
Musibah dan cobaan boleh jadi disebabkan dosa-dosa yang pernah kita perbuat baik itu kesyirikan, bid’ah, dosa besar dan maksiat lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syura: 30). Maksudnya adalah karena sebab dosa-dosa yang dulu pernah diperbuat.[13] Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Akan disegerakan siksaan bagi orang-orang beriman di dunia disebabkan dosa-dosa yang mereka perbuat, dan dengan itu mereka tidak disiksa (atau diperingan siksanya) di akhirat.”[14]

Semoga kiat-kiat ini semakin meneguhkan kita dalam menghadapi setiap cobaan dan ujian dari Allah.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 25 Shofar 1431 H



[1] HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.

[2] Al Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 94, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H.

[3] Lihat Syarh ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 151-153, Maktabah Ash Shofaa, cetakan pertama, tahun 1426 H.

[4] Shahih Al Jami', 5459, dari Al Qosim bin Muhammad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[5] Disebutkan dalam Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu 'Abdil Barr, hal. 249, Mawqi' Al Waroq.

[6] HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[7] Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya. Lihat Tafsir Ath Thobari, 24/496, Dar Hijr.

[8] Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu 'Abdil Barr, hal. 250, Mawqi' Al Waroq.

[9] Lihat ‘Uddatush Shobirin wa Zakhirotusy Syakirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 10, Dar At Turots, cetakan pertama, tahun 1410 H.

[10] HR. Bukhari no. 1283, dari Anas bin Malik.

[11] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/117, Muassasah Qurthubah.

[12] HR. Muslim no. 918.

[13] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/280, Muassasah Quthubah.

[14] Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya. Lihat Tafsir Ath Thobari, 20/514.


ORANG - ORANG YANG DIDOAKAN OLEH MALAIKAT


Orang - orang yang Didoakan oleh Malaikat 


Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi

Allah SWT berfirman, "Sebenarnya (malaikat - malaikat itu) adalah hamba - hamba yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah - perintah-Nya.  Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka dan yang dibelakang mereka, dan mereka tidak memberikan syafa'at melainkan kepada orang - orang yang diridhai Allah, dan mereka selalu berhati - hati karena takut kepada-Nya" (QS Al Anbiyaa' 26-28)
Inilah orang - orang yang didoakan oleh para malaikat :
  1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci.  Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya.  Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa 'Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci'" (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)
  2. Orang yang duduk menunggu shalat.  Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya 'Ya Allah, ampunilah ia.  Ya Allah sayangilah ia'" (Shahih Muslim no. 469)
  3. Orang - orang yang berada di shaf bagian depan di dalam shalat.  Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra' bin 'Azib ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan" (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)
  4. Orang - orang yang menyambung shaf (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalm shaf).  Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang - orang yang menyambung shaf - shaf" (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)
  5. Para malaikat mengucapkan 'Amin' ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jika seorang Imam membaca 'ghairil maghdhuubi 'alaihim waladh dhaalinn', maka ucapkanlah oleh kalian 'aamiin', karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu" (Shahih Bukhari no. 782)
  6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.  Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, 'Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia'" (Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)
  7. Orang - orang yang melakukan shalat shubuh dan 'ashar secara berjama'ah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal.  Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat 'ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat 'ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, 'Bagaimana kalian meninggalkan hambaku ?', mereka menjawab, 'Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat'" (Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)
  8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.  Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda' ra., bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, "Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan.  Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata 'aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan'" (Shahih Muslim no. 2733)
  9. Orang - orang yang berinfak.  Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak'.  Dan lainnya berkata, 'Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit'" (Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)
  10. Orang yang makan sahur. Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang - orang yang makan sahur" (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)
  11. Orang yang menjenguk orang sakit.  Imam Ahmad meriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh" (Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, "Sanadnya shahih")
  12. Seseorang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.  Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian.  Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain" (dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)
Maraji' :
Disarikan dari Buku Orang - orang yang Didoakan Malaikat, Syaikh Fadhl Ilahi, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005

 

Minggu, 21 April 2013

IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR

Iman Kepada Qadha dan Qadar 

 



dakwatuna.com – Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Bijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.

Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah swt., seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah swt. Ia akan berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang kehidupan dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya. Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6): 59]

“Tiada seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga.” Salah seorang dari mereka berkata, “Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal).” Kemudian beliau membaca ayat ini, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar [QS. Al-Lail (92): 5-10].” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)

“Sangat mengherankan seorang mukmin itu, karena semua urusannya mengandung kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah dimiliki seseorang kecuali orang mukmin; apabila ia diuji dengan kenikmatan (kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya. Dan apabila ia diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka, inilah kebaikan baginya.” (HR Muslim dari Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)

Definisi Qadha dan Qadar

Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian, diantaranya sebagaimana berikut:

1. Pemutusan, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jdilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah (2): 117]

2. Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]

3. Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat, “Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]

Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78)

Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini. “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10]

Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).

Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)

Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.

Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).

Dalil-dalil Qadha dan Qadar

Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syeikh Al-Islam, 8/258).

Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini.

Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR. Muslim)

“Sekiranya Allah swt. menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka, maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya kamu masuk neraka.” (HR. Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)

Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [QS. Al-Qamar (54): 49]

“(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Anfaal (8): 42]

“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [QS. Al-Ahzab (33): 38]

“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia bertanya, ‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)

“Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” [QS. Al-Lail (92): 5-10]

Rukun-rukun Iman Kepada Qadha Dan Qadar

Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga tersebut.

Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.

Pertama, Ilmu Allah swt. Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepda Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.

Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [QS. Ath-Thalaaq (65): 12]

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Hasyr (59): 22]

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6): 59]

“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)

Kedua, Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah swt. menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hajj (22): 70]

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” [QS. Al-An’aam (6): 38]

“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia berfirman, maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR. Ahmad)

Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,

“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” [QS. Faathir (35): 44]

Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” [QS. At-Takwiir (81): 29]

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” [QS. Al-An’aam (6): 39]

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” [QS. Yaasiin (36): 82]

“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR. Bukhari)

Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.

“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada

Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui
Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta

Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)

Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung
Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik

Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” [QS. Az-Zumar (39): 62]

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.” [QS. Al-Furqaan (25): 2]

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat Itu.“ [QS. Ash-Shaaffat (37): 96]

“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.” (HR. Hakim)

Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.

Macam-macam Takdir

Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah swt. memerintahkan Al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hadiid (57): 22]

“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR. Muslim)

Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.

“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia….” (HR. Bukhari)

Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [QS. Ad-Dukhaan (44): 4-5]

Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.

Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [QS. Ar-Rahmaan (55): 29]

Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.

Berdalih dengan Qadar dalam Kemaksiatan dan Musibah

Semua yang ditakdirkan oleh Allah swt. selalu tersirat hikmah dan maslahat bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka, Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah swt., melainkan dinisbatkan kepada amal perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat .

Hal ini berdasarkan firman Allah swt., “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” [QS. An-Nisaa` (4): 79]

Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya.

Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk memilih salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka, barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang memilih jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah swt.

Maka, tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah swt. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah atas kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” [QS. Al-An’aam (6): 148-149]

“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk menerangkan kebenaran.” [QS. An-Nahl (16): 35]

Adapun berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa manusia dapat dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Adam dan Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari surga.

“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR. Muslim)

Buah Iman Kepada Qadar

Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah swt. secara benar akan melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.

Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.

Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.

Kedua, tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” [QS. Al-Ma’arij (70): 19-22]

Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” [QS. Al-A’raaf (7): 99]

Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/iman-kepada-qadha-dan-qadar/